Kerja Online Dari Rumah

7/20/11

Ayah


Aku adalah anak satu-satunya di keluargaku. Walaupun aku hanyalah anak tunggal, aku tidak dimanja seperti anak lainnya terutama oleh ayahku. Orang-sering berkata bahwa ibulah orang yang paling berjasa dalam hidup daripada ayah. Memang aku tak menampiknya, tapi bagiku ayahlah yang paling berpengaruh membangun diriku menjadi seperti ini. Beliau bukanlah guru, dosen atau pengajar di lembaga pengajar. Ayahku hanya seorang buruh tani di kebun milik kawannya.



Aku berjalan di pagi hari ke ruang tamu rumahku, menatap ke arah dinding. Dimana wajah ayah, ibu dan aku berdiri dengan senyum di tengah ladang gandum yang sangat indah, setidaknya bagi diriku sendiri. Saat kulihat wajah ayah di foto, aku teringat semua yang diajarkan ayahku yang membuatku menjadi diriku sekarang ini.

***

Kehidupan masa kecilku sama seperti anak-anak lainnya. Pulang sekolah, ganti baju, makan siang, lalu berlari ke lapangan yang letaknya tak begitu jauh dari rumahku dimana teman-temanku berkumpul disana. Kadang bermain bola, layangan, kelereng atau sekedar berkejar-kejaran. Menjelang sore, kami turun ke sungai untuk melepas lelah. Hmm, aku rindu saat-saat menyenangkan itu.

Waktu berlalu cepat dan akupun akhirnya lulus dari sekolah dasar. Sekolahku sekarang bukanlah di desa lagi karena aku mendapat beasiswa penuh di sebuah sekolah favorit di kota. Aku tak dapat melukiskan dengan kata-kata bagaimana wajah gembira kedua orangtuaku mendengar berita itu. Ayahku langsung mempersiapkan segalanya untuk kepindahan kami ke kota. Di sisi lain, aku harus meninggalkan teman-temanku. Sedih memang, tapi ayah terus menyemangatiku.

“Nak, Aku tahu kamu sedih karena harus meninggalkan teman-temanmu. Tetapi kamu suatu hari memang harus pergi dari desa ini untuk menemukan dirimu yang sebenarnya. Di tempat yang baru nanti kamu akan menemukan tempat baru, teman baru dan yang terpenting, ilmu baru”

Aku tetap berpegang pada pesan ayah itu. Sebagai keluarga buruh tani yang sederhana, pindah ke kota merupakan perjuangan yang berat. Kami mengontrak di sebuah kamar yang kecil, ayah harus mencari pekerjaan baru sementara ibu membantu ayah dengan berjualan makanan kecil. Tak terbayang bagaimana biaya hidup di kota lebih tinggi dibandingkan di desa. Tapi walaupun begitu ayah dan ibu dengan usahanya tetap bisa menghidupi kebutuhan kami semua, setidaknya kami bisa dibilang berkecukupan untuk kebutuhan sehari-hari. Aku dilarang keras oleh ayah untuk ikut membantu mencari uang karena akan mengganggu proses belajarku. Dapat dikatakan keuangan keluarga kami lebih buruk dibandingkan saat di desa.

Apa aku menyesal? Sempat aku terpikir seperti itu sebelum aku ditampar oleh ayah.

“Kamu pikir untuk apa aku bekerja! Untuk siapa! Aku tetap bisa bertahan sampai saat ini karena untuk kita hidup, terutama untuk kamu yang akan membawa kita semua keluar dari kemiskinan ini”

Di dalam kamar aku terdiam, ibuku mengompres pipiku yang merah karena tamparan ayah tadi. Sesaat aku merasa bahwa ayah sangat kejam memukuli wajahku, aku mencurahkan rasa kesalku kepada ibu. Namun, ibu berkata bahwa sebenarnya maksud ayah itu baik hanya saja ia tak bisa menyampaikan seperti ibu melainkan dengan caranya sendiri. Ibu mengajariku memahami pesan cinta dibalik tindakan ayahku itu. Tidak semua orang beruntung mendapat pelajaran seperti itu di masa sekarang yang selalu berkonotasi bahwa pukulan dalam bentuk apapun bukanlah pendidikan.

Aku pun memeluk ibuku sambil menangis, aku sadar bahwa ayah bermaksud menyampaikan pesan bahwa aku tidak boleh menyerah kepada keadaan dengan cara yang lain. Aku mengetuk pintu kamar ayahku dan aku minta maaf karena pikiran lemahku beberapa saat yang lalu. Tangan kanan ayah memegang pundakku dan menyuruhku untuk segera tidur dan melupakan kejadian tadi. Aneh, sekilas kata-katanya dingin tapi aku merasakan rasa kasih sayang yang hangat dari ucapannya. Malam itu aku tertidur dengan sangat nyenyak.



Sekarang aku telah menginjak tahun terakhirku di SMA. Aku senang karena sekolahku tidak memberatkan orangtuaku karena beasiswa yang kudapatkan. Setidaknya aku tidak terlalu menyusahkan dengan biaya pendidikan yang menurutku tidak masuk akal. Di sela-sela perbincangan kami, ayah sering memprotes biaya pendidikan itu meskipun ia sendiri tidak pernah mengeluarkan sedikitpun.

“Bagaimana negara ini mau maju kalau orang mau belajar saja dipersulit. Memang belajar tidak perlu harus sekolah, tapi bagaimana mau bekerja sedangkan harus mendapatkan sertifikat baru bisa kerja di tempat yang sesuai. Bahkan orang pintar di negeri ini sekarang juga susah mencari pekerjaan karena nepotisme. Bayangkan saja orang bodoh memimpin perusahaan sedangkan insinyur malah jualan bubur. Apa? Kamu bertanya kenapa bukan aku yang memimpin bangsa ini? Aku tahu diri karena aku ini bodoh, tidak pintar seperti kamu. Kamulah yang nanti harus jadi pemimpin”

Aku tak berkata apa-apa lagi entah karena tak tahu lagi harus berkata apa atau perkataan ayah tadi begitu mengena kepadaku.


Namun, ada satu pengalaman yang takkan pernah aku lupakan seumur hidup karena ayah:

Suatu hari, hari terakhir ujian semester salah satu temanku berulang tahun yang ke-17. teman-teman sekelasku sudah berencana untuk merayakannya dengan melemparinya dengan telur, tepung, merica, lada dan lainnya. Akupun berpartisipasi dengan membawa dua butir telur, sekantung kecil susu dan kecap yang kubeli dari sebuah mini market.

Selesai ujian, kami berjalan ke jalan yang agak kosong dan tanpa berpikir panjang ia dilempari dengan semua yang kami bawa diiringi dengan gelak tawa kami semua. Namun kegembiraan itu tak berlangsung lama disaat ayahku yang kebetulan lewat membentak kami semua dengan suara yang tak pernah kudengar sebelumnya. Ayah begitu marahnya dengan kelakuan kami semua dan menyuruh kami membubarkan diri.

Ayah menatap sisa-sisa perbuatanku dan teman-teman sambil memunggungiku yang hanya berdiri terdiam lalu menanyakan apa maksud kami melakukan hal itu. Aku tak bisa menjawabnya karena tak tahu apa yang harus kujawab.

Malam harinya aku habis dimarahi oleh ayah. Tangan, kaki dan badanku dipukulinya dengan tongkat sapu sampai patah. Ibuku yang mencoba menghalangi, tak bisa berbuat banyak. Akibatnya, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak malam itu. Teman-temanku berkata lewat sms bahwa ayahku sudah kelewatan dan menyarankan untuk kabur dari rumah, tapi aku tidak mau. Entah kenapa aku tidak mau meninggalkan rumah seperti itu.

Dua hari kemudian, disaat teman-teman sekelasku pergi jalan-jalan berlibur ke luar kota, aku tidak ikut karena itulah hukuman dari ayah. Siang harinya, aku disuruh untuk membereskan barang-barangku karena ayah mau mengajakku dan ibu ke suatu tempat selama satu bulan liburan ini.

Tempat yang kukunjungi adalah sebuah daerah perkebunan di pegunungan. Ayah mengajakku ke tempat temannya yang seorang pemilik pabrik. Selama liburan ini kami tinggal di rumahnya. Di hari pertama, ayah banyak bicara dengan temannya itu. Entah apa yang mereka bicarakan, aku sendiri tak tahu apa yang akan aku lakukan di tempat ini selama liburan.

Di sekeliling rumah ini terhampar ladang yang luas, menurut perkiraanku sekitar 100 hektar yang sebagian besar ditanami gandum hitam. Di belakang rumah sekitar 200 meter ada peternakan kuda, ayam dan sapi. Ditengah lamunanku, ayah memanggilku dan menyerahkan secarik kertas. Disitu tertulis beberapa pertanyaan yang aku sendiri tidak mengerti apa tujuan ayahku membuat sejumlah pertanyaan itu.

“Aku membawamu kesini agar kamu bisa menyelesaikan penelitian bebas yang diberi sekolah. Karena ini salah satu syarat kelulusan kamu, ayah tidak mau kamu setengah-setengah. Lagipula kamu sendiri masih belum menentukan apa yang mau diteliti, jadi jangan membuang waktumu disini”

Aku berterimakasih kepada ayah dan temannya yang kupanggil Pak Rendi. Tak pernah terpikir bahwa ayah masih mempedulikan tugas sekolahku setelah insiden teman-temanku beberapa hari yang lalu. Tapi aku masih belum mengerti maksud dari pertanyaan-pertanyaan dari secarik kertas itu, namun ayah mengatakan bahwa nanti aku akan mengerti.

Esoknya aku pergi menemui salah satu petani gandum yang sedang bekerja di ladang. Aku bertanya dengan pertanyaan yang dituliskan di kertas ayah kemarin. Sampai di pertanyaan terakhir yang kudapatkan jawaban yang unik.

Petani itu tersenyum dan mengajakku ke pinggir ladang, disitu ada beberapa petak lahan yang tidak ditanam apapun. Ia mengajariku bagaimana mempersiapkan tanah yang baik, cara menanam gandum dan merawatnya. Lalu aku diberi tanggung jawab untuk mengurus sebagian kecil lahan gandum, merawatnya sampai saat panen tiba. Awalnya aku tidak mengerti apa maksudnya, tapi kukerjakan saja.

Siang hari aku berkunjung ke peternakan sapi perah. Disana aku diajarkan bagaimana cara merawat dan memerah susu sapi. Setelah bertanya pertanyaan terakhir yang ditulis di kertas, dua ekor sapi beserta kandangnya diserahkan kepadaku untuk kurawat. Di peternakan ayam pun begitu juga, sepuluh ekor ayam petelur menjadi tanggung jawabku. Dan lagi-lagi aku diserahi tanggung jawab atas seekor kuda yang kunamai “Pony”. Semuanya terjadi setelah aku bertanya pertanyaan yang sama:


“Untuk apa gandum/sapi/ayam/kuda ini ditanam/dipelihara?”


Aku pulang waktu sore hari. Pak Rendi mempunyai tiga orang anak lelaki, dua diantaranya sudah berkeluarga dan tinggal di kota sedangkan anak bungsunya baru berumur 12 tahun. Akupun cepat akrab dengannya. Ia pernah berkata padaku bahwa ia lebih mengerti pelajaran sekolahnya dengan mudah apabila aku yang mengajarinya. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Malam hari aku sudah tahu apa yang akan kutulis sebagai penelitianku.

Tiga minggu berlalu dan aku senang berada disini. Sebentar lagi musim panen, hewan-hewan yang kurawat sudah seperti temanku sendiri. Hanya dengan satu siulan, kuda yang kurawat akan menghampiri untuk kutunggangi. Saat aku berkunjung ke kandang sapi, dua ekor sapi yang kurawat menghampiriku. Begitu pula saat aku menghampiri ayam-ayamku, mereka semua seperti menyambut hangat kedatanganku. Aku menyayangi mereka semua.

Pagi hari aku ke ladang gandum, agak siang aku membersihkan kandang, membersihkan dan memerah susu sapi. Lalu mampir ke tempat ayam-ayamku yang setiap pagi bertelur. Sorenya mengajar anak Pak Rendi beserta teman-temannya.

Saatnya panen gandum. Aku memanen sekarung kecil gandum yang kurawat, memerah setengah kuali susu sapi dan mengambil telur dari semua hewan yang kutangani. Semua kubawa ke rumah Pak Rendi atas permintaannya. Begitu sampai dirumah, disitu juga ada gandum, susu dan telur yang diambil dari tempat serupa.

Pak Rendi membandingkan masing-masing benda yang kubawa dengan yang ada dirumah. Ia pun berkata kepada ayah, ibu dan kepadaku bahwa aku sangat berbakat dalam bertani dan beternak, selain itu aku juga pandai mengajar. Ia mengatakan bahwa gandum, susu dan telur dari gandum, sapi dan ayam yang kutangani termasuk kualitas tinggi. Setelah itu ia mengajarkanku bagaimana cara membuat kecap manis secara sederhana.

Dapat kurasakan sendiri, gandum yang kurawat dapat menjadi kecap manis yang rasanya lebih nikmat dari merek ternama, susu dari sapi yang kupelihara tidak kalah dari yang sering dibawa oleh teman-temanku yang katanya dari Australia, telur dari sepuluh ekor ayamku juga lebih enak dari yang pernah kumakan selama ini. Berbeda dari yang dibawa oleh Pak Rendi. Kecap, susu dan telur yang dibawanya rasanya biasa saja. Padahal diambil dari ladang dan peternakan yang sama.

Tak lama kemudian ayah mengambil tiga plastik kecill, lalu memasukkan kecap ke dalam plastik pertama, susu di plastik kedua dan dua butir telur di plastik ketiga.

“Sekarang ayah membeli sebagian dari ketiganya”, dan ayah memberiku sejumlah uang.
“Untuk apa, Ayah?”
“Sebentar lagi teman ayah ulang tahun, ayah mau merayakannya dengan melemparinya dengan ini semua”

Tiba-tiba saja aku menjadi marah kepada ayah karena semua hasil jerih payahku akan dibuang begitu saja.


“Kenapa kamu marah? Aku sudah membelinya dari kamu dan sekarang menjadi milikku. Jadi, mau diapakan saja terserah aku”, kata ayah dingin.
“Aku merawat gandum, sapi dan ayam itu bukan untuk dibuang ayah begitu saja. Aku tidak terima! Aku beli semua kembali!” kataku dengan nada tinggi.

Ayah diam sejenak dan menatapku dengan tajam.

“Jadi kamu sudah paham mengapa aku marah saat kamu melempari teman-temanmu dengan ini?” tanya ayah sambil menunjukkan ketiga plastik yang dipegangnya.

Aku tersentak dengan pertanyaan ayah barusan. Akhirnya aku tahu mengapa ayah begitu murka saat itu. Aku mengangguk perlahan.

“Kalau begitu, maka pertanyaan terakhir dari kertas yang kuberikan padamu di awal liburan sudah terjawab”, lalu ayah mengembalikan ketiga plastik itu kepadaku yang terdiam seribu bahasa dan pergi bersama Pak Rendi.


***


Aku menaruh kembali foto ayah, ibu dan aku di dinding ruang tamu. Disampingnya terpampang sertifikat kelulusanku dari perguruan tinggi, bersanding dengan piagam penghargaan atas lulusan terbaik bidang peternakan dan pertanian yang kuraih.

Seorang wanita dibelakangku mengingatkanku agar esok hari aku harus menghadiri rapat pertemuan kepala sekolah setelah aku mengisi kuliah di suatu universitas. Aku mencium keningnya, ia adalah istriku yang sangat kucintai. Tiba-tiba bajuku ditarik lembut oleh jagoan kecilku, ia kuangkat tinggi-tinggi dan berputar sampai ia ketakutan dan meminta kuturunkan.

Kami bertiga keluar dari rumah, lalu aku bersiul. Tak lama kemudian seekor kuda jantan dan gagah berlari menghampiri kami. Anakku berlari menghampirinya sambil berteriak gembira, “Pony! Ayo kita jalan-jalan!!”

Aku membawa istri dan anakku dengan Pony ke suatu pemakaman. Disanalah tempat ayah dan ibu beristirahat dengan tenang. Aku berdoa untuk mereka berdua.


“Ayah, apa sekarang ayah bangga denganku? Sekarang aku sudah menjadi pemimpin, impian ayah yang tidak tersampaikan” ucapku dalam hati.
“Kakek! Papa sudah menjadi dosen, mempunyai sekolah dan peternakan dan sekarang papa menjadi presiden. Kakek pasti senang mendengarnya” anakku berkata di pusara ayah dengan mata berbinar-binar.


Memang ayah tidak mengajari sebuah pelajaran seperti di dalam kelas. Ayah tidak mau aku hanya mengerti, tapi harus paham dan dihayati. Meskipun caranya sedikit keras, tapi dengan cara yang keras itulah aku menjadi diriku yang sekarang.

Ayah, aku punya satu permintaan kepadamu. Sudah lama aku ingin mengatakannya. Tapi sama seperti ayah, aku kurang pandai dalam merangkai kata untuk menunjukkan perasaanku kepadamu ...



Ayah, aku mencintaimu ...

0 komentar:

Post a Comment

Mohon untuk berkomentar menggunakan IDENTITAS yang jelas. Saya tidak akan meng-approve komentar yang menggunakan identitas "Anonim" atau "Anonymous".

Semua komentar anonim tidak akan saya tampilkan lagi. Silahkan berkomentar/berdiskusi dengan santun, sopan dan mengikuti tata krama yang baik. Terimakasih