Menyenangkan untuk membayangkan apa
yang kita inginkan menjadi kenyataan. Dimana kenyataan sesungguhnya kejam dan
menyakitkan dengan kebahagiaan sebagai pemanis sejenak. Sejak lama aku
berkeinginan untuk hidup di dunia dalam mimpiku sendiri. Membayangkannya saja
membuat kulitku merinding karena kesenangan. Tidak ada yang salah kalau aku
melakukan apapun di dalam mimpiku sendiri, kan?
Apa aku senang?
Apa aku bahagia?
Apa peduli kalian?
Apa kalian senang kalau aku senang?
Apa...?
Bahagia. Sebenarnya apa makna dari
konsep “bahagia” itu? Mempunyai uang? Jabatan? Kekasih? Atau hal lainnya?
Benarkah seperti itu?
Sekeras apapun aku mencari apa makna
dari kebahagiaan, bertanya kepada setiap manusia dari berbagai-macam ragamnya,
kemanapun aku berkelana, tetap tidak ada satupun jawaban baku yang diterima dan
disepakati, setidaknya oleh otakku sendiri. Terlalu banyak omong kosong,
apalagi perkataan orang-orang yang terbiasa dalam berbicara. Iya, omong kosong.
Dibalik perkataan mereka yang terdengar meyakinkan itu tersembunyi keraguan.
Entah mereka yang hanya sekedar bicara atau memang merasa bersalah karena tak
pernah merealisasikan apa yang dilontarkan lidah terlatih brengseknya itu.
Namun dari itu semua aku menyadari
sesuatu. Bahagia itu bersifat subyektif. Kenyataan yang membuatku begitu
bergairah sekaligus frustasi. Ya, aku yang menentukan sendiri dan aku pula yang
tidak tahu melakukan apa, harus apa dan bagaimana?
Ini adalah cerita diriku. Aku tidak
berfikir untuk peduli kepada kalian yang menyaksikan kisah sederhana ini,
sedikitpun.
***
Suatu ketika aku mengetahui bahwa
kekasihku tega mengkhianatiku. Tidak, lebih tepatnya membohongiku. Ia
tertangkap basah sedang memadu kasih dengan orang lain. Satu-satunya hal
menyenangkan yang kudengar adalah kenyataan bahwa diriku lebih baik –setidaknya
secara fisik- dari perempuan sialan itu.
Tidak sedikitpun aku menyangka. Seorang
laki-laki yang begitu mencintaiku. Seorang kekasih yang aku cintai dan
kubanggakan selama 5 tahun. Satu-satunya orang yang sangat mengerti rumitmya
diriku. Nyatanya hanya menjadikan diriku selingkuhannya. Ya, kenyataan bahwa dia
lebih dulu menjalin hubungan dengan perempuan itu sebelum denganku.
Sore itu aku dengan berat hati
memenuhi permintaannya untuk menjelaskan “yang
sebenarnya”. Di sudut cafe favorit kami berdua, ia terdiam sejenak.
“Mau bilang apa lagi? Buatku
semuanya sudah jelas!”
“Aku minta maaf. Bisakah kamu
tenang?”
“Kamu bercanda? Mana bisa aku
tenang!”
“Akan kuceritakan semuanya. Tidak
ada rahasia lagi, oke?”, sorot matanya yang tajam dan tegas membuatku lagi-lagi
terhanyut dalam diam dan amarah.
Sungguh, semakin lama kudengar
penuturannya, semakin besar kebencianku padanya. Ia sempat menawarkan untuk
memperkenalkanku dengan wanita itu. Apa dia sudah kehilangan kewarasannya?
Tawaran yang tolol. Sedikitpun tak ingin aku melihatnya. Bahkan setelah ini aku
berniat untuk tidak mau mengenal dia sampai kapanpun.
“Sudah cukup. Pergi dari hadapanku”,
usirku dingin.
“Kamu yakin?”
Aku menatap kedua matanya dengan
tatapan sedingin yang kubisa. Dan secepat itu pula ia mengerti dan berlalu
begitu saja. Terdiam melihat sisa-sisa keberadaannya, sosok yang begitu lama
memberikan kehangatan. Dan kini di dalam hatiku, badai salju menghantam dengan
ganas, memporak-porandakan segalanya. Bajingan.
Malam semakin larut. Temaram lampu
tidur dan kesunyian menambah suram keadaan ini. Lambat laun akupun terkantuk
sambil berharap aku takkan lagi terbangun setelah tertidur nanti. Sebutir cairan
hangat mengalir dari kelopak mata kiriku. Semua ini terlalu menyakitkan. Aku
ingin pergi dan meninggalkan ini semua. Dengan menapak langkahku, mengejar
bayangnya yang memelukku dengan erat dan hangatnya. Ingin sekali meskipun hanya
harapan. Aku begitu mencintainya. Mungkin aku bisa membahagiakan diriku di
dalam mimpiku sendiri. Sebuah ilusi kenyataan yang hanya bisa dibuat dan
dinikmati oleh diriku seorang. Hal yang mustahil dan tidak masuk akal pun akan
menjadi hal yang wajar. Apa aku salah? Rasanya tidak. Bodoh sekali sebuah
imajinasi dilarang kepada seseorang yang ingin melakukannya. Ah, bahagianya
mimpiku ini. Tidak ada kebohongan, tidak ada pengkhianatan, bahkan aku tidak
tahu bohong dan khianat itu apa karena tidak kuciptakan keduanya di duniaku.
Lama waktu berlalu. Hari-hariku juga
tak ada lagi yang berubah. Satu-satunya yang berubah hanyalah hatiku yang makin
hari semakin mengeras. Aku sadar tidak bisa membuang kenyataan dirinya akan
selalu ada di hatiku sekeras apapun aku menampiknya, sia-sia. Lagu-lagu, film,
dan bahkan kota yang ia sukai, semuanya tersimpan rapi. Sama sekali takkan
pernah bisa kubuang. Sulit untuk menyangkal akan kehangatan yang diberikannya
saat kita bergandengan tangan. Genggaman erat tangannya, kecupan indahnya. Saat
berjalan bersama dibawah langit yang dingin, seperti malam ini. Kembali aku
menumpahkan kesedihan dengan tangisan yang kutahan. Bisa dianggap gila kalau
tiba-tiba menangis di keramaian seperti ini.
Sungguh aku masih berharap ia
kembali dan menemuiku disini, dalam kerumunan ini. Tapi seandainya harapan itu
sungguh terjadi, aku tidak akan membiarkannya melihatku sambil berlinang air
mata seperti ini. Tidak! Aku harus pergi dari perasaan ini. Segera kuseka air mata
di sudut mataku. Aku bertekad setelah berbelok di tikungan jalan itu, saat itu
pula dimana titik diriku melanjutkan hidup yang baru. Ya, hidupku yang baru. Sejak
awal aku sudah tahu bahwa akhir cerita cinta ini tak terhindarkan. Meskipun
sempat terlintas pertanyaan konyol di pikiranku, “Bila aku bisa mengubah hari, apakah bisa merubah kenyataan di dalamnya
juga?”. Tertawalah, karena aku juga tertawa dengan pertanyaanku ini. Juga
membayangkan kalau benar-benar terjadi. Bodoh, sungguh bodoh. Sampai langitpun
menangis tak kuat menahan tawanya, deras.
Akhirnya tibalah aku di garis
berubahnya hidup yang aku tetapkan beberapa saat yang lalu. Euforia dan
kelegaan memenuhi seluruh tubuhku yang sedang merayakan dan merasakan hal
menyenangkan yang baru dan penuh tantangan. Senyum lebar mengembang tergambar
di wajahku yang tadinya mendung penuh kemurungan, sampai akhirnya aku melihat
sosoknya... dengan seorang wanita... dan sebuah tangan mungil yang
digenggamnya. Langkahku terhenti melihatnya.
Untuk apa aku marah? Untuk apa aku
kesal? Tidak ada alasan lagi bagiku untuk bermurung ria. Justru disaat yang
bersamaan aku merasakan kesenangan baru yang tak terkira. Kudekati mereka yang
sedang berteduh dengan perlahan sambil memasukkan kedua tanganku ke dalam saku
jaket kulit hitam kesayanganku. Hujan pun semakin deras menyaksikan kedua tubuh
terbaring tak berdaya, bersimbah darah, dihadapan seorang gadis kecil polos
yang melihat kedua tubuh tidak mengerti. Kedua bola mata mungilnya menatap mata
tajamku. Inilah hal terakhir yang bisa kulakukan: Aku mengatupkan jari telunjuk
didepan bibirku dan tersenyum padanya.
“Ssstt...”
0 komentar:
Post a Comment
Mohon untuk berkomentar menggunakan IDENTITAS yang jelas. Saya tidak akan meng-approve komentar yang menggunakan identitas "Anonim" atau "Anonymous".
Semua komentar anonim tidak akan saya tampilkan lagi. Silahkan berkomentar/berdiskusi dengan santun, sopan dan mengikuti tata krama yang baik. Terimakasih