Kerja Online Dari Rumah

5/17/13

Hal Terakhir yang Bisa Kulakukan



            Menyenangkan untuk membayangkan apa yang kita inginkan menjadi kenyataan. Dimana kenyataan sesungguhnya kejam dan menyakitkan dengan kebahagiaan sebagai pemanis sejenak. Sejak lama aku berkeinginan untuk hidup di dunia dalam mimpiku sendiri. Membayangkannya saja membuat kulitku merinding karena kesenangan. Tidak ada yang salah kalau aku melakukan apapun di dalam mimpiku sendiri, kan?


            Apa aku senang?
            Apa aku bahagia?
            Apa peduli kalian?
            Apa kalian senang kalau aku senang?
            Apa...?

            Bahagia. Sebenarnya apa makna dari konsep “bahagia” itu? Mempunyai uang? Jabatan? Kekasih? Atau hal lainnya?

            Benarkah seperti itu?

            Sekeras apapun aku mencari apa makna dari kebahagiaan, bertanya kepada setiap manusia dari berbagai-macam ragamnya, kemanapun aku berkelana, tetap tidak ada satupun jawaban baku yang diterima dan disepakati, setidaknya oleh otakku sendiri. Terlalu banyak omong kosong, apalagi perkataan orang-orang yang terbiasa dalam berbicara. Iya, omong kosong. Dibalik perkataan mereka yang terdengar meyakinkan itu tersembunyi keraguan. Entah mereka yang hanya sekedar bicara atau memang merasa bersalah karena tak pernah merealisasikan apa yang dilontarkan lidah terlatih brengseknya itu.

            Namun dari itu semua aku menyadari sesuatu. Bahagia itu bersifat subyektif. Kenyataan yang membuatku begitu bergairah sekaligus frustasi. Ya, aku yang menentukan sendiri dan aku pula yang tidak tahu melakukan apa, harus apa dan bagaimana?

            Ini adalah cerita diriku. Aku tidak berfikir untuk peduli kepada kalian yang menyaksikan kisah sederhana ini, sedikitpun.

***

            Suatu ketika aku mengetahui bahwa kekasihku tega mengkhianatiku. Tidak, lebih tepatnya membohongiku. Ia tertangkap basah sedang memadu kasih dengan orang lain. Satu-satunya hal menyenangkan yang kudengar adalah kenyataan bahwa diriku lebih baik –setidaknya secara fisik- dari perempuan sialan itu.
            Tidak sedikitpun aku menyangka. Seorang laki-laki yang begitu mencintaiku. Seorang kekasih yang aku cintai dan kubanggakan selama 5 tahun. Satu-satunya orang yang sangat mengerti rumitmya diriku. Nyatanya hanya menjadikan diriku selingkuhannya. Ya, kenyataan bahwa dia lebih dulu menjalin hubungan dengan perempuan itu sebelum denganku.
            Sore itu aku dengan berat hati memenuhi permintaannya untuk menjelaskan “yang sebenarnya”. Di sudut cafe favorit kami berdua, ia terdiam sejenak.

            “Mau bilang apa lagi? Buatku semuanya sudah jelas!”
            “Aku minta maaf. Bisakah kamu tenang?”
            “Kamu bercanda? Mana bisa aku tenang!”
            “Akan kuceritakan semuanya. Tidak ada rahasia lagi, oke?”, sorot matanya yang tajam dan tegas membuatku lagi-lagi terhanyut dalam diam dan amarah.
           
            Sungguh, semakin lama kudengar penuturannya, semakin besar kebencianku padanya. Ia sempat menawarkan untuk memperkenalkanku dengan wanita itu. Apa dia sudah kehilangan kewarasannya? Tawaran yang tolol. Sedikitpun tak ingin aku melihatnya. Bahkan setelah ini aku berniat untuk tidak mau mengenal dia sampai kapanpun.

            “Sudah cukup. Pergi dari hadapanku”, usirku dingin.
            “Kamu yakin?”

            Aku menatap kedua matanya dengan tatapan sedingin yang kubisa. Dan secepat itu pula ia mengerti dan berlalu begitu saja. Terdiam melihat sisa-sisa keberadaannya, sosok yang begitu lama memberikan kehangatan. Dan kini di dalam hatiku, badai salju menghantam dengan ganas, memporak-porandakan segalanya. Bajingan.
            Malam semakin larut. Temaram lampu tidur dan kesunyian menambah suram keadaan ini. Lambat laun akupun terkantuk sambil berharap aku takkan lagi terbangun setelah tertidur nanti. Sebutir cairan hangat mengalir dari kelopak mata kiriku. Semua ini terlalu menyakitkan. Aku ingin pergi dan meninggalkan ini semua. Dengan menapak langkahku, mengejar bayangnya yang memelukku dengan erat dan hangatnya. Ingin sekali meskipun hanya harapan. Aku begitu mencintainya. Mungkin aku bisa membahagiakan diriku di dalam mimpiku sendiri. Sebuah ilusi kenyataan yang hanya bisa dibuat dan dinikmati oleh diriku seorang. Hal yang mustahil dan tidak masuk akal pun akan menjadi hal yang wajar. Apa aku salah? Rasanya tidak. Bodoh sekali sebuah imajinasi dilarang kepada seseorang yang ingin melakukannya. Ah, bahagianya mimpiku ini. Tidak ada kebohongan, tidak ada pengkhianatan, bahkan aku tidak tahu bohong dan khianat itu apa karena tidak kuciptakan keduanya di duniaku.
            Lama waktu berlalu. Hari-hariku juga tak ada lagi yang berubah. Satu-satunya yang berubah hanyalah hatiku yang makin hari semakin mengeras. Aku sadar tidak bisa membuang kenyataan dirinya akan selalu ada di hatiku sekeras apapun aku menampiknya, sia-sia. Lagu-lagu, film, dan bahkan kota yang ia sukai, semuanya tersimpan rapi. Sama sekali takkan pernah bisa kubuang. Sulit untuk menyangkal akan kehangatan yang diberikannya saat kita bergandengan tangan. Genggaman erat tangannya, kecupan indahnya. Saat berjalan bersama dibawah langit yang dingin, seperti malam ini. Kembali aku menumpahkan kesedihan dengan tangisan yang kutahan. Bisa dianggap gila kalau tiba-tiba menangis di keramaian seperti ini.
            Sungguh aku masih berharap ia kembali dan menemuiku disini, dalam kerumunan ini. Tapi seandainya harapan itu sungguh terjadi, aku tidak akan membiarkannya melihatku sambil berlinang air mata seperti ini. Tidak! Aku harus pergi dari perasaan ini. Segera kuseka air mata di sudut mataku. Aku bertekad setelah berbelok di tikungan jalan itu, saat itu pula dimana titik diriku melanjutkan hidup yang baru. Ya, hidupku yang baru. Sejak awal aku sudah tahu bahwa akhir cerita cinta ini tak terhindarkan. Meskipun sempat terlintas pertanyaan konyol di pikiranku, “Bila aku bisa mengubah hari, apakah bisa merubah kenyataan di dalamnya juga?”. Tertawalah, karena aku juga tertawa dengan pertanyaanku ini. Juga membayangkan kalau benar-benar terjadi. Bodoh, sungguh bodoh. Sampai langitpun menangis tak kuat menahan tawanya, deras.
            Akhirnya tibalah aku di garis berubahnya hidup yang aku tetapkan beberapa saat yang lalu. Euforia dan kelegaan memenuhi seluruh tubuhku yang sedang merayakan dan merasakan hal menyenangkan yang baru dan penuh tantangan. Senyum lebar mengembang tergambar di wajahku yang tadinya mendung penuh kemurungan, sampai akhirnya aku melihat sosoknya... dengan seorang wanita... dan sebuah tangan mungil yang digenggamnya. Langkahku terhenti melihatnya.
            Untuk apa aku marah? Untuk apa aku kesal? Tidak ada alasan lagi bagiku untuk bermurung ria. Justru disaat yang bersamaan aku merasakan kesenangan baru yang tak terkira. Kudekati mereka yang sedang berteduh dengan perlahan sambil memasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket kulit hitam kesayanganku. Hujan pun semakin deras menyaksikan kedua tubuh terbaring tak berdaya, bersimbah darah, dihadapan seorang gadis kecil polos yang melihat kedua tubuh tidak mengerti. Kedua bola mata mungilnya menatap mata tajamku. Inilah hal terakhir yang bisa kulakukan: Aku mengatupkan jari telunjuk didepan bibirku dan tersenyum padanya.

            “Ssstt...”


0 komentar:

Post a Comment

Mohon untuk berkomentar menggunakan IDENTITAS yang jelas. Saya tidak akan meng-approve komentar yang menggunakan identitas "Anonim" atau "Anonymous".

Semua komentar anonim tidak akan saya tampilkan lagi. Silahkan berkomentar/berdiskusi dengan santun, sopan dan mengikuti tata krama yang baik. Terimakasih