"Seniman suka kebebasan, tidak suka dikekang oleh aturan"
Para seniman, setuju dengan kalimat gue diatas?? Gue pribadi tentu setuju...
Dari segi filosofis, makna "kebebasan" dari seorang seniman bagi gue adalah kebebasan dalam berekspresi, bereksplorasi, dan berpandangan dalam menciptakan sebuah karya seni. Tentu tetap berpijak pada idealisme yang dianut masing-masing seniman itu sendiri.
Namun, se "bebas-bebas"nya seorang seniman buat gue bukan berarti seenaknya dalam menjalankan atau mengerjakan suatu kesenian.
Gue ambil contoh kesenian teater.
Membuat pentas teater tidak semudah membalikkan telapak tangan. Memang di dalam teater diharuskan mengeksplorasi karakter di dalam naskah yang akan dimainkan dengan bebas (asal tidak menyimpang) sehingga akan tercipta ekspresi karakter yang kuat. Semua elemen dalam pentas teater "bebas" memandang naskah dari berbagai sudut untuk mencari makna yang dimaksudkan dari si pembuat naskah, bahkan bisa juga mencari makna dari sudut pandang yang berbeda sehingga pementasan teater itu mempunyai ciri khas tersendiri, meskipun naskahnya tergolong sederhana atau sering dipentaskan oleh sanggar teater lainnya.
Disinilah makna "kebebasan" dalam berseni, khususnya seni teater. Seniman "bebas" memandang suatu seni sesuai idealismenya, dan akan menghasilkan suatu karya baru yang lain meski ide dasarnya sudah diimplementasikan oleh orang/pihak lain.
Namun, ada beberapa orang yang beranggapan "bebas" dalam berseni itu seperti "seenaknya". Ini pandangan yang menurut gue kurang benar, kenapa??
Kita ambil contoh, ada kelompok teater yang akan membuat pentas dengan membawakan naskah cerita wayang. Tapi orang-orang dalam teater itu sendiri bersikap "seenaknya" yang cenderung memandang kedisiplinan itu adalah aturan yang menghalangi kebebasan. Jadilah jadwal latihan yang selalu ngaret, perencanaan yang alakadarnya dan sebagainya sebagai akibat dari sikap "kebebasan" yang cenderung diartikan sebagai"seenaknya".
Memang benar ada kata-kata bijak: "Tuhan tidak melihat hasil, tapi melihat proses". Biasanya kalimat itu yang dijadikan kambing hitam agar para seniman dan oknum-oknum dalam teater yang "seenaknya" itu tidak disalahkan.
Sekarang coba posisikan anda sebagai penonton. Yang namanya penonton itu nggak mau tahu proses membuat pentas itu kayak gimana. Penonton itu hanya mau HASIL, nggak peduli prosesnya kayak gimana, mau persiapannya cuma seminggu kek, sebulan kek atau berbulan-bulan kek, bagi penonton mereka itu cuma tahunya duduk, nonton dan puas terhibur. Setuju nggak?? (Yang nggak setuju mungkin kepalanya harus dibenturkan ke tembok )
Jadi, DISIPLIN tetap HARUS ada, dalam berseni sekalipun. Seringkali seniman berpandangan disiplin adalah aturan yang membatasi ruang geraknya. Inilah pandangan yang harus diperbaiki. Disiplin dalam berseni membuat seorang seniman tahu kapan dia harus bertindak dan kapan ia harus melakukan sesuatu, tetap tanpa menghalangi kebebasannya dalam berseni.
Bayangkan seorang pemahat yang disiplin dalam mengerjakan karyanya. Bila ia mempunyai disiplin "setiap hari harus ada bagian yang dipahat", maka pasti akan tercipta suatu karya pahat entah sebuah patung atau bentuk pahatan lainnya. Beda dengan pemahat yang Mood-mood-an, "kalo lagi mood mahat, kalo nggak mood ya nggak mahat". Kira-kira jadi nggak karyanya?? Mungkin jadi, tapi apakah se-produktif seorang pemahat yang disiplin??
Ambil contoh lagi dua orang penulis yang akan membuat sebuah novel, anggap saja semua keadaan keduanya sama. Tapi yang satu disiplin dan yang satu lagi angin-anginan. Bila penulis yang mempunyai disiplin "sehari minimal harus menulis satu paragraf", maka dalam beberapa minggu akan terbitlah sebuah karya berupa novel. Sedangkan penulis yang angin-anginan apakah akan terbit novelnya?? Mungkin bisa, tapi apakah se-produktif penulis yang disiplin?? TIDAK!!!
Gue pribadi prihatin dengan budaya ngaret yang kayaknya membudaya di Indonesia. Tulisan gue ini gue sampaikan buat semua orang khususnya orang-orang seni yang biasanya menyepelekan yang namanya DISIPLIN. Coba saja tanyakan ke organisasi OSIS di SMP/SMA atau UKM di Perguruan Tinggi, kalau ada jadwal rapat jam 10 pagi apakah benar mulai jam 10 pagi??
95% pasti NGARET entah jam 11, jam 12, bahkan bisa baru mulai jam 3 sore. Alasannya bermacam-macam, mulai dari hujan, ban bocor, baru mandi, nganter nyokap sampai alasan klasik yang BASI abis: "MACET" (what the F*CK banget dah )
Apalah susahnya menepati waktu yang sudah disepakati sebelumnya?? Jujur gue awalnya SUSSAAHH banget buat men-disiplin-kan diri sendiri, tapi sedikit-sedikit mulai bisa membiasakan diri. Tinggal menularkan kebiasaan DISIPLIN ini yang menjadi tantangan sulit karena merubahmindset orang lain tidak semudah merubah mindset diri sendiri.
Tapi coba deh bayangin kalo semua orang serba disiplin, terutama disiplin waktu. Rapat mulai dan berakhir sesuai jadwal, nggak ada yang merasa tidak dihargai, semua senang dan tentunya acara berlangsung dengan lancar sesuai jadwal. Bukankah itu tujuan awalnya melaksanakan kegiatan??
Renungin saja masing-masing...
0 komentar:
Post a Comment
Mohon untuk berkomentar menggunakan IDENTITAS yang jelas. Saya tidak akan meng-approve komentar yang menggunakan identitas "Anonim" atau "Anonymous".
Semua komentar anonim tidak akan saya tampilkan lagi. Silahkan berkomentar/berdiskusi dengan santun, sopan dan mengikuti tata krama yang baik. Terimakasih